Indonesia ialah negara hukum, katanya. Dalam konteks hukum, siapa pun yang belum diputus bersalah atas suatu kejahatan, dia seharusnya dianggap tidak bersalah dan negara berkewajiban melindunginya.
Peristiwa penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, dan eksekusi terhadap empat tahanan di dalamnya oleh kelompok yang memiliki senjata Sabtu (23/3), membuat kita bertanya-tanya. Bertanya apakah kita masih pantas menyebut diri sebagai negara hukum bila orang-orang yang belum diputus bersalah oleh pengadilan harus dieksekusi mati?
Apakah kita akan terus menyebut diri sebagai negara hukum jika mereka yang memiliki senjata bisa semaunya menggunakan senjata itu untuk mengeksekusi orang tidak bersalah? Apakah negara ini sedang menuju negara hukum rimba ketika yang berkuasa atas senjata bisa berbuat semaunya?
Apakah kita tidak malu membangga-banggakan diri sebagai negara hukum bila negara gagal melindungi warga negara? Bagaimana pertanggungjawaban hukum negara kepada keluarga para korban?
Permintaan maaf saja jelas tidak cukup. Tidak ada jalan lain bagi pemerintah kecuali mengungkap kasus ini bila Indonesia masih ingin disebut negara hukum.
Sesungguhnya tidaklah sulit mengungkap perkara tersebut. Aparat bisa menelusuri dari profil para korban. Para korban ialah tersangka pembunuh anggota TNI mantan anggota Kopassus. Artinya, bukan tidak mungkin motif penyerangan LP dan eksekusi keempat tahanan bermotif balas dendam.
Aparat kemudian bisa menelusuri proses penyerangan dan eksekusi tahanan yang begitu cepat, rapi, terencana, terukur, dan detail. Hanya pasukan terlatih yang sanggup melakukannya.
Hal lain yang bisa ditelusuri ialah mengapa polisi menitipkan keempat tahanan berstatus tersangka itu ke LP? Apakah polisi mencium gelagat rekan-rekan anggota TNI korban pembunuhan bakal balas dendam dan menyerang markas polisi sehingga peristiwa penyerangan markas polisi di Baturaja, Sumsel, bisa terulang?
Petunjuk yang bisa ditelusuri untuk mengungkap kasus ini sudah lebih dari cukup. Tidak ada gunanya pejabat keamanan bersikap defensif atau bahkan mencoba menutup-nutupinya demi membela korps.
Kita marah dengan gerombolan bersenjata yang menyerang LP Sleman dan mengeksekusi empat tahanan di dalamnya. Namun, kita juga marah, sangat marah, kepada pejabat keamanan yang mencoba menutup-nutupinya dengan berlindung di balik penyelidikan yang katanya masih berlangsung.
Kita marah karena pejabat keamanan menganggap rakyat bisa dibodoh-bodohi di tengah fakta atau petunjuk yang begitu telanjang. Kita marah karena sang pejabat seperti lebih melindungi korps daripada rakyat.
Di tengah sikap defensif pejabat keamanan, Presiden perlu mengambil langkah konkret untuk memastikan kasus penyerangan LP Cebongan dan pembunuhan empat tahanan di dalamnya sungguh-sungguh terungkap.
Presiden tidak cukup hanya prihatin dan menginstruksikan pejabat keamanan mengungkap kasus tersebut. Rakyat menuntut Presiden sebagai pemimpin tertinggi untuk menjaga Indonesia tetap sebagai negara hukum, bukan negara hukum rimba.
editorial Media Indonesia
sumber : metrotv.news.com